Pemilu 2018 lagi hangat-hangatnya nih. Baru aja kemarin gue nyoblos dengan harapan semoga yang gue pilih tuh bener-bener dapat menjalankan amanah dengan baik. Secara gitu loh, menjalankan amanah sebagai pemimpin itu kagak gampang bro. Kelak di hari akhir akan di pertangung jawabkan tuh dihadapan Allah SWT. Ngomong-ngomong tentang pemimpin nih, gue pernah dapat cerita pada waktu kecil gue. Loe simak baik-baik bro, ini susah-susah nulis biar dibaca sembari mengingat masa lalu hehe.
Alkisah jauh sebelum bumi dihuni manusia, Tuhan mengumpulkan penghuni semesta. Mengumumkan maklumat sayembara. Gunung, lautan, bumi, langit, bintang bintang raksasa semua datang menyimak seksama. Bersediakah menerima beban amanah mengelola dunia? Sanggup, akan dibekali status mulia. Tak sanggup tak mengapa, paling jadi makhluk biasa saja. Sukses mengemban amanah, berpiala surga. Bila mblarah kelola amanah, bermahkota siksa.
Kumpulan makhluk super besar itu untuk beberapa saat diam. Sejurus kemudian kompak mereka menyatakan keberatan. Bukan karena tidak taat pada Tuhan. Lebih dilandasi kemampuan mengukur diri, khawatir tak mampu memikul amanah besar sebagai kholifah di bumi. Memimpin itu berat. Apalagi ada resiko murka Tuhan bila gagal. Forumpun hening. Tiba tiba satu peserta mengangkat tangan menyatakan sanggup. Di antara makhluk makhluk raksasa, dia yang paling lemah daya. Spesies kecil itu bernama manusia.
Semua yang hadir kaget. Dasar manusia, nekat tanpa mengukur diri. Tuhan sendiripun sampai berfirman, "..Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh". 33:72. Entah apa pertimbangan yang ada di benak manusia waktu itu. Gunung, lautan, bumi, langit, bintang bintang raksasa semua saja merasa tak mampu. Tuhan konsisten dan bergeming. Amanahpun diberikan kepada yang sanggup. Status mulia diberikan. Selanjutnya, kita bisa saksikan guratan di dinding sejarah. Bagaimana hasil manusia memimpin. Bumi makin rusak atau lestari?
Memimpin itu bukan tentang adu kuat. Gunung kuat tapi ga sanggup. Selain kuat, pemimpin juga harus memiliki sifat taat. Tunduk pada aturan dan konsensus yang disepakati bersama. Menempatkan hukum di atas semua kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya. Pemimpin yang mengandalkan kekuatan cenderung menjadi diktator minoritas. Berupaya melanggengkan kekuasaan dengan kekuatannya. Gemar melabrak aturan. Kerap melakukan abuse of power.
Memimpin itu tidak melulu tentang suara mayoritas. 71% permukaan bumi diisi air. Lautan itu mayoritas di planet ini. Toh mereka merasa tak sanggup. Karena selain mayoritas, pemimpin dituntut untuk bisa mengayomi semua kepentingan. Konsisten menjadi pelayan, pelindung dan pembela semua kebutuhan. Pemimpin yang membanggakan suara mayoritas, biasanya hobi memaksakan kehendak. Mengeksploitasi jumlah sebagai alat penekan. Tirani mayoritas.
Memimpin itu tak sekedar citra sederhana. Apalagi keramahan senyum pura pura. Tanah dan bumi itu sederhana dan merendah. Diinjak semua makhluk sepanjang masa. Begitupun dia sadar tak mampu mengelola dunia. Selain sederhana, pemimpin kudu berani hidup bersama rakyatnya. Dalam suka maupun duka. Mampu merasakan denyut nadi emosi masyarakat. Jerit rakyat tangisannya, senyum umat kebahagiaannya. Berani tak punya apa apa, asal rakyatnya sejahtera.
Memimpin itu bukan hanya cerita keindahan jargon dan janji. Langit itu indah dan luas memayungi. Pun menggeleng saat diamanahi mengurus bumi. Selain luas wawasan, pemimpin juga perlu memiliki kemampuan detil. Orang Jawa bilang, kudu weruh lugore godhong sak lembar. Dituntut menguasai seluruh persoalan bangsanya. Sekecil apapun, yang menimpa siapapun, di level sosial manapun. Kaya akan ide ide brilian sebagai solusi, sekaligus mengimplementasikan strategi.
Tentu, pemimpin bukanlah manusia super. Mustahil ada sosok yang bisa segalanya, tahu semuanya, mampu apa saja. Yang pasti dia harus fathonah atau cerdas. Kecekatannya dalam menangani persoalan didukung oleh kecerdasannya. Tidak plonga plongo. Sebab memimpin butuh keahlian kompleks. Perlu ketrampilan mumpuni. Dia adalah yang terbaik di antara sekian juta orang yg dipimpin. Bukan sempurna tanpa cela, tapi yang terbaik dari yang ada.
Telinganya terbiasa mendengar suara yang berbeda. Dia bukan pribadi yang anti perbedaan. Yang berbeda dengannya dicap makar padanya, ingin merebut kekuasaannya. Lalu dipersekusi ditindas dan diintimidasi. Pemimpin di desa, kota atau negara adalah sosok yang piawai menggubah sedemikian banyak nada suara majemuk rakyatnya menjadi aransemen lagu kebangsaan yang indah harmoni. Ketrampilan mendengarnya sempurna. Sabar mengingatkan, sadar diingatkan.
Bisa jadi dia seorang yang tampak biasa saja. Rendah hati dan sadar kekurangannya. Namun dia dirijen yang multi talenta. Bisa memilah dan memilih orang orang terbaik dari bangsanya sendiri untuk membantunya mengelola desa, kota atau negara. Right man on the right place. Manager hebat yang lihai membagi habis tugas secara efektif dan efisien. Di saat yang sama, dia memahami, mengawasi, mengarahkan, membantu dan memegang kendali atas semua proses.
Pantang bagi seorang pemimpin melempar tanggungjawab. Berani mengambil amanah ummah, mesti siap segala resiko dan konsekwensinya. Gentlemen. Sepahit apapun. Seberat apapun. Meletakkan jabatan sekalipun. Terdepan mengaku sebagai pihak yang siap salah saat ada kegagalan. Paling belakang saat ada perayaan keberhasilan. Bukan sebaliknya. Sepi ing pamrih rame ing gawe. Bekerja tanpa teriak teriak. Penuh karya, tak butuh dipuja. Fokus pada hasil, abai pada yang usil.
Tanggap ing sasmito. Memiliki kepekaan batin yang kuat. Wujud hubungan dengan Tuhan yang lekat. Kontemplasi hening malam dipergunakannya untuk konsultasi pada Yang Maha Kuasa tentang persoalan bangsanya. Meminta petunjuk, arahan, guidance. Itu melahirkan sikap bijaksana dalam memimpin. Wise man. Kebijaksanaannya mewarnai kebijakannya. God wisdom on good policy. Kepemimpinan yang dibimbing Tuhan.
Punya sensitifitas yang tinggi atas persoalan rakyatnya. Rajin giat belusukan in cognito. Tanpa sorotan media, selfie atau pamer foto. Tak puas dengan survey pesanan, memahami dengan mendatangi. Umar bin Khattab hampir tiap malam keliling negeri mengintip tiap pintu hati. Pundaknya kerap menggotong sendiri karung gandum diantar ke rumah rakyatnya. Lalu duduk mendengar desah kesah orang susah. Tak jarang meminta rakyatnya memberi kritik dan tausiah.
Pemberani. Laa yakhoofuna illallah. Tidak takut pada siapapun kecuali pada Tuhannya. Tidak pada manusia. Setan sekalipun. Apalagi hanya partai pendukung atau cukong penelikung. "Pelayan" yang berani mengelola negeri dengan adil sesuai aturan Tuhan demi kepentingan "sang tuan" (baca: rakyatnya). Meski untuk itu dia beresiko kehilangan kekuasaannya. Sangat teguh memegang prinsip keadilan dan kebenaran. Dia hanya takut rakyatnya menderita. Itu berarti murka Tuhan.
Dia sudah selesai dengan dunia. Tak lagi memiliki ambisi materi dan kemewahan. Pengabdiannya pada negara dan bangsa dilandasi pengabdiannya pada Tuhannya. Iming iming kemewahan dan harta dunia takkan membuatnya berpaling. Kalah oleh janji kebahagiaan abadi dan ridlo Tuhan di kehidupan abadinya nanti. Ini melahirkan ketulusan tak tertandingi dalam melayani negeri. Adakah pemimpin seperti itu? Harus ada! Hanya dengan itu negeri ini akan adil, damai, makmur sejahtera.
Berat? Ya iya. Itulah kenapa gunung, langit, bumi dan lautan sadar diri, "memimpin itu berat, kami tak sanggup". Mungkin sebab itu para rasul, para nabi, orang sholeh, para mujaddid, pemimpin haq nan adil tegar berkata, "memimpin itu berat, biar aku saja".